Tradisi Tahlilan 3, 7, 40, 100 Hari Kematian dalam Islam
Sudah menjadi sebuah tradisi di kalangan masyarakat Muslim, ketika ada sanak saudara atau keluarga yang meninggal dunia, selalu diadakan acara tahlilan yang bertujuan untuk mendoakan si mayit. Inilah penjelasan tradisi tahlilan 3, 7, 40, 100 hari kematian dalam Islam.
Sudah menjadi sebuah tradisi di kalangan masyarakat Muslim, ketika ada sanak saudara atau keluarga yang meninggal dunia, selalu diadakan acara tahlilan yang bertujuan untuk mendoakan si mayit, agar amal solihnya diterima dan diampuni semua kesalahan yang pernah diperbuat. Oleh karena itu ahlulbaitnya mengadakan perkumpulan yang dimana isinya membaca kalimah toyyibah dan tahlil. Kalau di masyarakat kita biasa disebut dengan Tahlilan, ada juga yang menyebut dengan Fida’an.
Acara tersebut dilaksanakan biasanya selama 7 hari sejak kematian, kemudian diteruskan sampai 40 hari maupun setiap tahun (haul). Dalam acara tersebut berisi doa bersama yang didahului dengan membaca tawassul, kemudian surat-surat pendek dst dengan ditutup membaca tahlil (Lailaha Illallah) yang jumlahnya berbeda-beda setiap daerah, dan juga tergantung Imamnya.
Pada acara tersebut juga bentuk shodaqoh (dalam wujud selamatannya) dan bersilaturrahim (dalam wujud kumpul bersama di rumah duka). Hal-hal tersebut juga sesuai dengan hadis Nabi:
1) Hadits riwayat Imam Ahmad, yaitu:
Dari ‘Amr bin ‘Abasah, beliau berkata: aku mendatangi Rosulullah SAW, lalu aku bertanya: Ya Rosulallah, apakah islam Itu..?. beliau menjawab: Bertutur tata yang baik dan menyuguhkan suatu makanan. (HR. Ahmad)
2) Hadits riwayat Imam Turmudzi, yaitu:
Dari Ibnu Abbas sesungguhnya ada seorang lelaki bertanya kepada Rosulullah SAW, Wahai Rosulallah, sesungguhnya ibuku sudah meninggal dunia, apakah ada manfaatnya jika aku bersedekah untuknya..?. beliau menjawab Iya, lalu lelaki berkata, Aku memilki sebidang tanah, maka aku persaksikan kepadamu bahwa aku akan mensedekahkan kebun tersebut atas nama ibuku. (HR Turmudzi)
Dari beberapa hadits tersebut menggambarkan bahwa hukum shodaqoh yang pahala dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia hukumnya adalah boleh. Begitu juga hukum memperingati hari ke 3, 7, 40, 100 dan haul orang yang sudah meninggal diperbolehkan, seperti yang telah dikatakan para ulama dalam kitab mereka, antara lain:
1) Kitab al-Hawi, yaitu:
الحاوي للفتاوي (2/ 216)
ذَكَرَ الرِّوَايَةَ الْمُسْنَدَةَ عَنْ طَاوُسٍ: قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي ” كِتَابِ الزُّهْدِ ” لَهُ: حَدَّثَنَا هاشم بن القاسم قَالَ: ثَنَا L-1 الأشجعي، عَنْ سفيان قَالَ: قَالَ طَاوُسٌ: إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا، فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الْأَيَّامَ.
قَالَ الحافظ أبو نعيم فِي ” الْحِلْيَةِ “: حَدَّثَنَا أبو بكر بن مالك، ثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ، ثَنَا أَبِي، ثَنَا هاشم، ثَنَا L-1 الأشجعي، عَنْ سفيان قَالَ: قَالَ طَاوُسٌ: إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا، فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الْأَيَّامَ.
ذَكَرَ الرِّوَايَةَ الْمُسْنَدَةَ عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ: قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ فِي مُصَنَّفِهِ، عَنِ الحارث بن أبي الحارث، عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ قَالَ: يُفْتَنُ رَجُلَانِ مُؤْمِنٌ وَمُنَافِقٌ، فَأَمَّا الْمُؤْمِنُ فَيُفْتَنُ سَبْعًا، وَأَمَّا الْمُنَافِقُ فَيُفْتَنُ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا. الْكَلَامُ عَلَى هَذَا مِنْ وُجُوهٍ:
Telah berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra di dalam kitabnya yang menerangkan tentang kitab zuhud: Telah menceritakan kepadaku Hasyim bin Qasim sambil berkata: Telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: TelaH berkata Imam Thawus (ulama besar zaman Tabi’in, wafat kira-kira tahun 110 H / 729 M): Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut. (al-Hawiy li Fatawa li as-Suyuthi, Juz II)
2) Kitab al-Hawi Juz 2, yaitu
الحاوي للفتاوي (2/ 234)
وَلْنَخْتِمِ الْكِتَابَ بِلَطَائِفَ: الْأُولَى: أَنَّ سُنَّةَ الْإِطْعَامِ سَبْعَةُ أَيَّامٍ، بَلَغَنِي أَنَّهَا مُسْتَمِرَّةٌ إِلَى الْآنَ بِمَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ، فَالظَّاهِرُ أَنَّهَا لَمْ تُتْرَكْ مِنْ عَهْدِ الصَّحَابَةِ إِلَى الْآنَ، وَأَنَّهُمْ أَخَذُوهَا خَلَفًا عَنْ سَلَفٍ إِلَى الصَّدْرِ الْأَوَّلِ. [وَرَأَيْتُ] فِي التَّوَارِيخِ كَثِيرًا فِي تَرَاجِمِ الْأَئِمَّةِ يَقُولُونَ: وَأَقَامَ النَّاسُ عَلَى قَبْرِهِ سَبْعَةَ أَيَّامٍ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ،
Kesunatan memberikan sedekah makanan selama 7 hari merupakan perbuatan yang tetap saja berlaku sampai sekarang (yaitu masa al-Suyuthi abad ke-IX H) di Makkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat sampai sekarang dan tradisi tersebut diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama.
3) Kitab Nihayah al-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in, yaitu:
Dan shodaqoh untuk mayit dengan cara syar’I itu diperlukan dan tidak dibatasi harus tujuh hari atau lebih sedikit dan tidak dibatasi dengan beberapa hari dari hari-hari kematiannya. Sebagaimana sayyid Ahmad Dahlan berfatwa “telah menjadi kebiasaaan manusia shodaqoh untuk mayit pada hari ke tiga dari kematian, hari ke tujuh, hari ke dua puluh, hari ke empat puluh, hari ke seratus dan setelah itu setiap tahun pada hari kematian. Sebagaimana juga didukung oleh syekh Sunbulawaini.
Demikian penjelasan singkat tentang tahlilan 3, 7, 40, 100 hari kematian dalam Islam. Semoga dapat menjadi tambahan bacaan.